Sejarah, menurut E.H.Carr, Merupakan interaksi berkesinambungan antara sejarawan
(atau siapapun yang melakukan studi sejarah) dengan fakta masa lampau yang
dimilikinya. Dengan demikian sejarah merupakan semacam ”proses dialog” terus
menerus antara sejarawan atau peminat sejarah yang hidup dari masa kini dengan
peristiwa / pelaku – pelaku peristiwa di masa lampau. (Asvi Warman Adam, 2004 :
113 dalam Wardaya, 2007 : 15).Dalam penulisan sejarah, tekanan tidak hanya
terletak pada ”apa sebenarnya yang terjadi di masa lampau”, melainkan juga pada
bagaimana sejarawan atau kita semua ”berdialog” dengan fakta masa lalu itu.
Itulah sebabnya sering dikatakan penulisan sejarah harus terus dilakukan dan
setiap generasi perlu menulis sejarahnya sendiri. Dipahami dengan cara demikian
sejarah bukan hanya menyangkut urusan masa lampau, melainkan juga erat terkait
dengan masa kini, dan selanjutnya dengan masa depan. (Makkulau, 2008).
Memahami sejarah dengan cara demikian, penulis
memberanikan diri untuk menghadirkan fakta – fakta masa lampau itu, sebagai
upaya ”berdialog” atau ”mendialogkan” Sejarah Kekaraengan Bontoa sebagai bagian
tak terpisahkan dari Sejarah Daerah Marusu’. Dalam konteks kesejarahan Sulawesi
Selatan, Bontoa merupakan satu kekuatan politik ekonomi lokal yang turut hadir dalam
gelombang besar ekspansi Kerajaan Gowa ke utara sejak masa kekuasaan Karaeng
Tunipalangga. Raja Gowa X inilah yang memerintahkan I Mannyarang, putra dari I
Pasiri Daeng Mangngasi Karaeng Labbua Tali Bannangna, Karaeng Bangkala III dari
isterinya I Daeng Takammu Karaeng Bili' Tangngayya untuk menjadi karaeng
maggau’ di wilayah tersebut.
Dalam buku ini, ”proses dialog” dengan fakta masa
lampau yang dihadirkan itu, menyangkut riwayat dan silsilah kekaraengan Bontoa
sejak Kekaraengan Bontoa didirikan oleh I Mannyarang (Karaeng Bontoa I) sampai
Andi Muhammad Yusuf Daeng Mangngawing (Karaeng Bontoa XXII sekaligus Karaeng
Bontoa terakhir), kompleksitas latar sejarah yang mewarnainya dalam hubungan
silsilahnya dengan Kedatuan Luwu, Arung Tanete, Kerajaan Bangkala (Jeneponto),
Kasombanga ri Gowa, Mangkaue ri Bone serta hubungan kekerabatan Bontoa sendiri
dengan Toddo Limayya ri Marusu’ lainnya, yaitu Marusu’, Simbang dan Tanralili,
Lau.Tentunya upaya ’mendialogkan’ sejarah Bontoa dalam konteks Sejarah Daerah Marusu’
akan lebih arif jika kita semua mau mengakui kehadiran Randji Silsilah Regent
van Bontoa tulisan J A B van de Broor (1928) sebagai fakta yang terlupakan dan
dilupakan selama ini. Meski mengungkap satu sisi yang berbeda, namun paling
tidak banyak bagian dari silsilah tersebut yang justru menjadi titik terang
upaya pengungkapan sejarah Toddo Limayya ri Marusu’ lainnya. Untuk itu, penulis
sangat mengharapkan ”proses dialog” itu tetap dilanjutkan agar kita semua tidak
tenggelam dalam kegelapan sejarah.
Semoga karya sederhana ini dapat bermanfaat
adanya. Wassalam.
Ditulis di Batam, 05 Pebruari 2011
Muhammad Aspar
No comments:
Post a Comment